dr Reisa Jawab Belum Jadi ASN, Ombudsman Pertanyakan SK Penugasan
dr. Reisa Broto Asmoro menjawab pertanyaan saat wawancara di Gedung Graha BNPB, Jakarta, Jumat (12/6). Foto: Galih Pradipta/Antara Foto |
Menurut Alvin, seorang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak boleh menerima endorsement produk komersial tanpa seizin atasan. Jika sudah diangkat menjadi pejabat publik, Reisa seharusnya mundur dari kontrak dengan produk apa pun.
Alvin sempat membagikan kritik ini di akun Twitter. Di kolom jawaban, Reisa akhirnya meluruskan bahwa ia belum berstatus ASN.
Setelah menerima klarifikasi Reisa, Alvin justru mempertanyakan landasan hukum Reisa sebagai anggota tim komunikasi.
"Saya pertanyakan, apa landasan hukum dia (Reisa) sebagai juru bicara (anggota tim komunikasi) Gugus Tugas? Apakah patut informasi resmi pemerintah disampaikan secara rutin melalui forum resmi oleh orang yang tanpa SK pengangkatan/penunjukan, tanpa hak keuangan?" kata Alvin kepada kumparan, Jumat (19/6).
Alvin juga mempertanyakan kebenaran informasi yang disampaikan Reisa sebagai perwakilan pemerintah. Termasuk meminta kejelasan soal proses seleksi Reisa yang bisa menjabat anggota tim komunikasi.
"Yang bersangkutan bicara untuk dan atas nama siapa? Apa buktinya? Bagaimana proses seleksi hingga penunjukannya," kata Alvin.
"Apa urgensi mengangkat atau menunjuk yang bersangkutan dan langsung melaksanakan tugas walau SK belum diterbitkan?" pungkasnya.
Di akun Instagramnya, Reisa memang mengiklankan sejumlah produk, seperti merek air kemasan hingga krim ruam bayi. Ini menjadi persoalan bagi Ombudsman, sebab, produk yang diiklankan oleh seorang pejabat akan terus melekat.
"Jadi ini masalah etika mungkin yang bersangkutan sudah ada kontrak-kontrak sebelumnya. Namun saat diangkat menjadi pejabat publik, seharusnya yang bersangkutan segera mengundurkan diri dan mengatur kapan iklan-iklan yang di-endorse itu segera dihentikan," ujar Alvin.
Selain itu, Alvin juga mengingatkan kode etik kedokteran yang mengatur bagaimana seorang dokter bersikap. Alvin merujuk pada Pasal 3Kode Etik Kedokteran Indonesia tahun 2012:
Membuat ikatan atau menerima imbalan dari perusahaan farmasi/obat, perusahaan alat kesehatan/kedokteran atau badan lain yang dapat mempengaruhi pekerjaan dokter.
Sumber : Kumparan