Opini Musri Nauli: Islam di Kerinci (2)
Musri Nauli
Catatan tentang Islam di Kerinci dapat dilihat dari dua surat untuk Depati Kerinci dari Kesultanan Jambi yang berasal dari abad ke-18 M. Surat bertarikh 1776 dan 1778.
Didalam tesis yang berjudul “Pesisir dan pedalaman: Hubungan Kerinci dengan Jambi dan Indrapura dari tahun 1850 hingga 1921 M”, lagi-lagi Deki Syahputra menjelaskan “pihak Kesultanan Jambi berhasil membujuk Depati Bertujuh serta Depati Empat Delapan Helai Kain.
Pihak kerajaan kemudian dikenal pada masa pemerintahan Depati Anom gelar Sultan Agung Abdul Djalil (1643-1665). Surat menyurat ini kemudian dilanjutkan Sultan Anom Sri Ingologo (1770-1790).
Berbagai Surat dari pihak kerajaan menunjukkan islamisasi secara lansung yang dilakukan oleh pihak Kesultanan Jambi terhadap para depati di Kerinci.
Surat-surat kemudian ditujukan kepada Depati Sandaran Agung di Sandaran Agung, Depati Nan Bertujuh di Sungai Penuh dan Depati Empat Delapan Helai Kain Alam Kerinci yang berpusat di Rawang.
Sedangkan di Sungai Penuh atau wilayah Depati Nan Bertujuh berkedudukan sebagai Pegawe Jenang Pegawe Raja yang memegang cermin tidak kabur dan memegang Kitab Allah (al-qur‟an) atau dikenal dengan Suluh bendang dalam Negeri.
Depati Nan Bertujuh kemudian bertugas untuk menyerukan Islam khususnya penguatan hukum Islam di Kerinci. Oleh karena itu, pada posisi tertentu Depati Nan Bertujuh juga bergelar Kyai Nan Bertujuh di Alam Kerinci.
Begitu juga surat yang dikirim ke Rawang karena berposisi sebagai pusat pemerintahan Depati Empat Delapan Helai Kain sebagai Mendapo Adat Mendapo Syarak Alam Kerinci.
Proses islamisasi yang dilakukan dalam hal ini ialah islamisasi dari segi penguatan atau pemantapan hukum.
Isi naskah diatas sesuai dengan pergolakan sejarah islamisasi di Nusantara. Waktu itu para pendakwah atau mubaliq Islam beralih kepada usaha pengukuhan dan pemantapan ajaran Islam.
Begitu juga halnya yang terjadi di Alam Kerinci, penguatan serta pengukuhan tersebut dilakukan oleh para haji, syekh, faqih dan segala imam khatib yang menghubungkan hukum depati dengan rakyatnya, atas permintaan pihak Kesultanan Jambi.
Dengan demikian maka Islam baru berwujud dan ditopang oleh pemerintahan secara resmi dan utuh semenjak masa pemerintan Sultan Abdul Qahar di Jambi abad ke-17 M.
Advokat Tinggal di Jambi