Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Calon Pemimpin atau Preman? Romi Hariyanto dan Sikap Arogannya

 

Oleh: Syaiful Bakri

Calon Gubernur Jambi, Romi Hariyanto, menunjukkan sikap arogan terhadap wartawan dalam konferensi pers usai Debat Kandidat di Abadi Convention Center (ACC), Kota Jambi, pada Minggu malam (27/10/2024). Sikap arogan Romi terlihat jelas ketika ia mendapatkan pertanyaan tajam dari awak media terkait isu 'Narkoboy' atau keterlibatan dengan narkoba yang tengah menyudutkannya.

Romi merespons pertanyaan itu dengan gestur yang kasar, mengangkat tangannya ke arah wartawan seolah-olah berusaha menekan lawan bicara. Gestur dan nada bicaranya yang tinggi mengejutkan banyak pihak yang hadir, termasuk beberapa wartawan yang terpaksa menahan diri agar situasi tidak semakin memanas.

Insiden ini memunculkan reaksi beragam dari masyarakat yang menilai tindakan tersebut sebagai sikap kurang bijaksana dari seorang calon pemimpin. Dalam persaingan Pilgub Jambi yang ketat, sikap Romi ini bisa menjadi bumerang bagi citranya, terutama ketika masyarakat mengharapkan sosok pemimpin yang dapat menghadapi pertanyaan kritis dengan kepala dingin dan profesionalisme.

Tindakan Romi Hariyanto dalam konferensi pers pasca-debat kandidat menunjukkan sikap yang jauh dari etika seorang pemimpin. Alih-alih merespons secara profesional terhadap isu 'Narkoboy' yang tengah menjadi sorotan publik, Romi justru bertindak arogan, mengangkat tangannya kepada wartawan dengan gaya yang lebih mirip preman daripada seorang calon gubernur.

Sikapnya yang kasar dan tak berwibawa ini mencerminkan kelemahan dalam mengendalikan emosi dan ketidakmampuan untuk menghadapi kritik dengan kedewasaan. Masyarakat yang menyaksikan insiden ini tentu mempertanyakan kelayakannya sebagai calon pemimpin, mengingat seorang gubernur diharapkan mampu bersikap terbuka, bukan malah menunjukkan arogansi ketika dihadapkan pada pertanyaan sulit.

Perilaku seperti ini hanya menambah daftar panjang keraguan terhadap Romi, yang tampaknya tidak siap untuk menerima kritik atau mempertanggungjawabkan isu yang mencoreng citranya. Insiden ini, bagi banyak pihak, mencerminkan bukan hanya kegagalan dalam etika publik, tetapi juga ketidaksiapan mental untuk mengemban tanggung jawab besar sebagai seorang pemimpin.

Para ahli dalam bidang psikologi dan studi rehabilitasi narkoba menilai bahwa mantan pengguna narkoba yang berhasil sembuh seharusnya dapat menunjukkan tingkat kedewasaan dan pengendalian diri yang lebih baik, terutama setelah menjalani proses pemulihan yang diharapkan melibatkan peningkatan keterampilan emosional dan pengelolaan stres. Respons arogan dan kasar yang ditunjukkan Romi justru dapat menunjukkan bahwa individu tersebut belum sepenuhnya mencapai keseimbangan psikologis yang stabil atau belum menyelesaikan proses pemulihan emosional yang memadai.

Menurut Dr. Nora Volkow, Direktur National Institute on Drug Abuse (NIDA), salah satu bagian penting dari rehabilitasi narkoba adalah pembentukan kembali kontrol diri dan kemampuan untuk merespons situasi stres secara positif. Setelah proses rehabilitasi, mantan pecandu idealnya memiliki ketahanan emosional yang lebih kuat dan mampu menghadapi situasi kritis dengan tenang. Sikap kasar dan arogansi terhadap media dapat menandakan ketidakmampuan untuk sepenuhnya menyesuaikan diri dengan tuntutan publik dan mungkin memperlihatkan adanya sisa-sisa perilaku destruktif yang masih mempengaruhi pola respons emosional.

Ahli psikologi lain, seperti Dr. Howard Shaffer dari Harvard Medical School, juga mencatat bahwa pemulihan dari kecanduan narkoba tidak hanya mencakup penghentian penggunaan zat, tetapi juga perbaikan pola pikir dan perilaku. Hal ini mencakup perubahan dalam cara menanggapi konflik, kritik, atau tekanan. Dalam konteks ini, tindakan Romi yang agresif terhadap media dapat menunjukkan bahwa pemulihan emosional dan mentalnya belum sepenuhnya tuntas. 

Ketika seorang mantan pengguna narkoba tidak dapat menunjukkan ketenangan dan profesionalisme dalam menghadapi kritik, hal ini sering kali menjadi tanda adanya trauma atau kebiasaan lama yang belum sepenuhnya teratasi.

Dr. Stephen Rollnick, seorang pakar dalam terapi motivasi, menambahkan bahwa mantan pecandu narkoba yang berkomitmen pada pemulihan seharusnya lebih memiliki empati, rendah hati, dan sadar akan dampak perilakunya terhadap persepsi publik. Kesadaran ini penting bagi seseorang yang ingin menjadi figur publik atau pemimpin, karena masyarakat akan melihat kepribadian yang stabil sebagai tanda keberhasilan pemulihan dan kesiapan untuk menjalani tanggung jawab besar. Sikap agresif atau arogansi seperti yang ditunjukkan Romi hanya memperburuk citranya dan mencerminkan tantangan besar dalam proses pemulihan emosional yang seharusnya sudah selesai bagi seorang calon pemimpin.

Dengan demikian, perilaku Romi ini tidak hanya memperlihatkan kekurangan dalam kematangan emosional, tetapi juga menunjukkan tanda-tanda pemulihan yang masih belum lengkap. Perilaku agresif seperti ini, bagi para ahli, merupakan indikator risiko bahwa individu tersebut belum benar-benar siap untuk menjadi panutan atau memegang tanggung jawab besar di tengah masyarakat.

Dalam konteks pemilihan kepala daerah, keberadaan seorang calon seperti Romi Hariyanto yang merupakan mantan pecandu narkoba seharusnya menimbulkan pertanyaan serius di kalangan pemilih. Sikap arogan dan defensif yang diperlihatkan Romi, terutama saat berhadapan dengan media, mencerminkan kelemahan karakter yang sangat tidak diinginkan dalam seorang pemimpin. 

Dalam situasi yang seharusnya menunjukkan kedewasaan dan kemampuan berkomunikasi yang baik, ia justru berperilaku seperti preman, yang jelas menunjukkan ketidakmatangan emosional.

Romi seharusnya menjadi contoh perubahan positif setelah melewati proses rehabilitasi, namun perilakunya justru mencerminkan ketidakmampuan untuk bertransformasi menjadi sosok pemimpin yang inspiratif. Jika masyarakat memilih untuk mendukungnya, mereka mungkin tidak hanya mempertaruhkan masa depan daerah, tetapi juga berisiko melanjutkan warisan buruk yang dapat berimbas pada stabilitas sosial dan moral di Provinsi Jambi.

Dengan mempertimbangkan semua faktor ini, jelas bahwa Romi tidak layak untuk memimpin daerah yang membutuhkan seorang pemimpin dengan integritas, stabilitas emosional, dan kemampuan untuk mendengarkan serta merespons kebutuhan masyarakat secara positif. 

Keputusan untuk memilihnya hanya akan membawa dampak negatif yang lebih besar bagi masyarakat dan memperburuk reputasi kepemimpinan di tingkat daerah.

Penulis merupakan Ketua Forum Masyarakat Peduli Pilkada Jambi (FMP2J)